Minggu, 02 Januari 2011

Sebuah Kesuksesan

Apa ukuran sukses sebenarnya? Apakah bergelimangnya harta dalam genggaman? Bombastisnya angka saldo rekening? Sesaknya daftar portofolio kepemilikan saham? Akumulasi jumlah properti yang fantastis? Apakah materi yang jadi tolok ukur keberhasilan?

Atau sukses adalah ketika tiba pada puncak kejayaan dengan status yang menggentarkan manusia lain? Menggengam tampuk kekuasaan dengan status sebagai tokoh yang agung? Ketika semua orang yang bertemu menunduk hormat dan takzim mendengarkan, lalu mengamini setiap kata yang meluncur dari rongga mulutku? Sehingga ucapanku menjadi sihir buat mereka, menjadi perintah yang tak terbantahkan, menjadi sabda yang tak tertampik pengabulannya?

Mungkin juga sukses adalah ketika saya menjadi begitu populer. Punya penggemar berjibun. Banyak tak terbilang insan memuja, ingin bertemu dan mimpi bertukar sapa. Hahaha…bahkan menjadikan saya dewa pada altar suci didalam kuil tersembunyi didalam lubuk hati mereka.

Atau sukses itu, semua yang bersifat spiritual? Situasi dimana hati menjadi tenang dalam menjalankan hidup, karena yakin Yang Maha telah memberkahi saya dan saya ikhlas terhadap apa yang dikaruniakanNya?

Apa sih sukses itu?

Buat saya, sukses sesunguhnya adalah pertanda bahwa hidup manusia menjadi makin berarti. Manfaat mengurapi semestanya dan sejahtera menjadi kata yang tidak berjarak. Pertanyaannya kemudian, apakah sukses itu, status yang kasat mata atau semata berdimensi batiniah? Apakah sukses itu bersifat subyektif atau atas keabsahannya dibutuhkan syarat pengakuan khalayak. Apakah sukses menitikberatkan pada kondisi akhir atau pada proses?

Apa sih ukuran sukses itu?

Walau selalu kita menyangkal bahwa sukses tidak terukur lewat satuan – satuan materi, namun seringnya kita menganggap rangkaian ide tersebut klise. Hanya layak dikhotbahkan oleh begawan suci yang benar – benar mandul hasrat. Faktanya, ya indikator konvensional kesuksesan adalah harta, tahta dan pamor. Kalau tidak apa? Apa klaim yang paling faktual untuk menyatakan saya sukses selain apa yang dapat diindera? Kepuasan batin? “Ah…pembelan diri orang – orang yang tak mampu!” itu mungkin yang jadi ungkapan standar. Tetapi buat mereka yang sudah pada tataran esensi dan substansi, sukses adalah masalah batin. Bahwa sukses adalah apa yang saya rasakan, bukan apa yang saya kangkangi. Lalu bagaimana dengan standar umum? Kata orang – orang bijak ini, yang merasakan sukses itu saya, dan karenanya pendapat sayalah yang terpenting, bukan orang lain. Dengan begitu, sukses bukan soal kompetisi, tetapi substansi.

Sampai dimana rasa menentukan batas, seharusnya cerita soal sukses menjadi sangat – sangat individual, bukan komunal. Ah.. mana bisa maju jika ukurannya diri sendiri. Bagaimana jika kita termasuk orang yang cepat puas? Boleh jadi. Tetapi rasanya optimis lebih baik ketimbang langsung tersuruk menjadi pesimis. Mungkin kunci jawabannya adalah strong self motivated Disni yang ditekankan bukan bagaimana bersaing dengan orang lain, tetapi bersaing dengan diri sendiri terlebih dahulu. Tuntaskan pada tataran internal, ketimbang selalu melihat kekanan dan kekiri. Misalnya orang yang mengikuti lomba lari. Ia akan terus berusaha mengejar posisi terdepan, karena itu menjadi batas keberhasilan. Jika sudah didepan masalah selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan posisi itu terus-menerus. Bayangkan kalau para pelari lain memiliki kecepatan 30 km/jam, maka targetnya adalah memastikan dia bisa berlari diatas kecepatan itu. Dengan mempertahankan kecepatan 40 km/jam saja maka masalah terselesaikan. Dengan mengandalkan kompetisi eksternal, barangkali di pelari bermental juara itu tak pernah mau mencoba kecepatan 65 km/jam. Mengapa? Karena ukurannya lingkungan. Buat apa berpayah – payah, lah wong lari 40 saja sudah juara kok?!

Tetapi bayangkan jika si pelari beraing dengan dirinya sendiri. Memulai larinya dengan 25 km/jam, lalu karena sudah terbiasa maka meningkatkan kecepatannya menjadi 30 km/jam, terus dan terus dan terus. Maka batas menjadi tidak ada. Lagi-lagi itu kalau perangkat lunak sikap mental pantang menyerah dan motivasi dirinya begitu kuat. Selain menyelamatkan diri dari kehabisan energi karena penyakit hati (iri, dengki, syirik dan sejenisnya), dunia seolah tak berbatas.

Sekarang, pertanyaan selanjutnya: Apakah sukses bertitikberat kepada destinasi atau pada proses. Pertanyaan ini menjadi penting, sebab sejak kecil kita selalu diajarkan untuk memilih tujuan yang sifatnya final. Mau jadi apa? Dokter, Pilot, Polisi, Pelukis, Pemusik, Bankir atau Tentara? Dalam membangun kereangka pandang tentang sukses, tanpa kita sadari, lingkungan mendidik kita untuk berpikir instan, dan ‘memaksa’ kita menyasar satu target akhir sebagai indikator kesuksesan. Bahwa sukses adalah ketika saya menjadi anu, ini atau itu. Kita tidak pernah didik untuk berpikir sistematis, strategis dan komprehensif atas status sukses kita. Sehingga pada akhirnya, tak banyak dari kita yang bisa memenuhi cita – cita masa kecil. Karena apa? Kita tidak berorientasi kepada proses, tetapi kepada tujuan akhir. Bagaimana mungkin saya bisa termotivasi mencapai satu tujuan, jika saya tidak tahu harus memulai darimana, dengan cara apa, dan yang terpenting apa landasan filosofisnya. Ujung – ujungnya hasil akhir adalah segalanya. Ini bisa membuat saya melakukan apapun untuk mencapainya, sebab saya kehilangan rambu dan roh perjuangan. Bukankah akan lebih elok jika saya untuk menentukan segalanya one step at the time, sehingga saya benar – benar memahami sedang ada dimana saya saat ini, apa yang tengah saya kerjakan sekarang dan setelah itu akan kemana, bagaimana caranya dan apa maksudnya.

Hehehe…kok jadi seperti tulisan motivator ya? Percayalah sobat, saya tak mau menggurui. Tulisan saya yang pas-pasan di blog ini, merupakan buah dari apa yang saya pikirkan, dan menjadi pengingat pribadi. Jadi mohon jangan tersinggung, seperti saya belagu dan keminter ya. Have a nice life you all