Selasa, 19 April 2011

Keagungan cangkang

Mengapa hari - hari ini, standar nilai yang saya anut menjadi begitu dangkal? Nggumunan (mudah terkesima) dengan hal - hal yang tidak terkait dengan substansi, esensi. Saya seperti melupakan filosofi dibalik semua peristiwa, objek dan realita? Mudah kagum, senang dan takjub pada yang kasat mata. Semuanya berhenti pada kepuasan penginderaan dan malas mengolahnya lagi lebih dalam hingga menyentuh dasar yang subtansial. Saya menikam rasionalitas dan intelektualitas dari belakang.

Indera, pengelihatan, pendengaran, perasa, pengecap, pembau, bukan lagi menjadi pintu yang dibaliknya terhampar singgasana pemaknaan. Ia seharusnya merupakan gerbang dari proses pengartian, yang pada ujungnya baru terdapat pintu keramat itu. Namun, hari - hari ini domain hati saya rasa keadaannya berbeda. Instan, dadak, ujug - ujug. Tambahkan lagi elemen sensasi, kegenitan harafiah atau naif, maka sempurnalah "keagungan" sebuah realitas. Semua yang nge-pop adalah "matahari". Benar - benar low context bukan?

John Storey pernah mengatakan, semua budaya populer, budaya yang mengagungkan lahiriah harafiah nan memanjakan indera dan jauh dari karsa kontemplatif, akan sirna jika seseorang atau suatu komunitas telah menemukan high culture. Ia adalah sebuah status yang memerdekakan keputusan pemaknaan atas apa yang diindera dari sekedar gambar dan teks. Jika saya bisa mencapai batas itu, mungkin saya akan memutuskan bahwa Briptu Norman serta Shinta & Jojo adalah sebuah fenomena yang berhenti pada kata menggelitik, lucu, and that's it. Tetapi kemalasan pemaknaan yang kronis membuat saya membuat mereka lebih dari sekedar gambar di youtube yang membuat terpingkal - pingkal. Disinilah kemudian proses ekspolitasi bermula.

Tulisan ini hanya saya buat untuk pengingat pribadi, untuk membuat saya lebih tekun lagi mencari makna dibalik semua peristiwa. Mengagungkan apa yang diindera tanpa memberi cukup ruang bagi pemaknaan atasnya, hanya akan berhenti pada posisi ekspresi yang dangkal dan konyol. Saya menjadi sangat mudah berkomentar atas sesuatu hal, tanpa proses yang cukup untuk memutuskan apakah komentar itu sudah tepat? Yang berbahaya, ketika saya tidak sendiri, tetapi terikat pada kesamaan intrest dengan orang - orang yang sama dangkalnya dengan saya. Jadilah kelompok kami sahut - menyahut dalam pemaknaan komunal yang ya...tetap dangkal. Sudah tepat saatnya saya lebih banyak lagi merenung.