Kamis, 24 Maret 2011

Narsisme

” Vanity is my favorite sin !”
bahkan seorang muslim terancam tak akan berhak mendapat tiket masuk firdaus.
“Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.” (HR. Muslim)
Satu synonym rasa sombong itu bernama Narsisisme atau kosa kata populernya sekarang ini narsis. Sigmund Freud yang memperkenalkan kata ini kepada dunia psikologi modern. Freud mengatakan, tidak ada yang salah dari rasa mencintai diri sendiri. Bahkan semua orang membawa sifat ini semenjak mereka lahir. Ia bahkan menambahkan, sifat ini merupakan sumber harapan sekaligus energi yang menggerakkan insting manusia untuk bertahan hidup.
Masalahnya kemudian akan timbul, ketika konteks self-love ini terbawa oleh manusia dalam kehidupan sosial. Maka “ke-Kita-an” akan berubah menjadi “ke-Aku-an”. Saya yang terbaik, terindah, terpintar, terbenar, terhebat, ter…, ter…., ter… Ketika Aku adalah segalanya, maka logika menjadi bias, nurani jadi nisbi, dan halalnya cara adalah lelucon yang tak lagi akan pernah menjadi lucu.
Sorry, diatas saya mengutip hadist, bukan mau sok ulama, Wah…hehe itu mah jauh. Bisa shalat lima waktu lengkap saja sudah syukur buat saya, alih – alih lagi menggurui orang lain. Ini hanya referensi ekstrim. Bukankah semua jawab ada di agama ? Sedang referensi yang lebih sekuler bernama Fir’aun, Hitler, Sistem Aparthide. Mereka ini adalah sekelumit contoh – contoh empiris, bagaimana sifat narsis justru berujung tragis. Tapi toh kita tetap saja sering mengabaikan pelajaran – pelajaran hidup itu. Mungkin kita terlalu dibutakan oleh kekaguman kita melihat bayangan yang ada didepan cermin. Sama seperti Narcissius yang gandrung dengan bayangannya sendiri di permukaan telaga. Mungkin juga kita terlalu picik dalam menyerap dan menganalisis reaksi lingkungan terhadap diri sendiri. Yang sering mengkritik , kita anggap sebagai musuh, mengada – ada, dengki dll. Sementara yang paling benar adalah mereka yang memuja kita, mengagung – agungkan kita, dan membuat semacam altar pemujaan terhadap kelebihan – kelebihan, yang kita miliki atau kita “rasa” kita miliki. Kalau begini caranya, mungkin kita harus menunggu jidat terbentur dinding dahulu, atau kaki terperosok selokan, untuk membuktikan bahwa ” loe bukan dewa !”
Paman saya pernah berkata,
“Hati – hati berjalan diatas karpet merah. Dalam kondisi ini ,tetaplah perhatikan arah langkahmu, nak. Sadarkan dirimu untuk sering – sering merunduk ketika berjalan. Karena dapat saja ujung karpet itu bukan berakhir di singgasana, tapi di bibir jurang”