Jumat, 13 Mei 2011

Mahalnya Sebuah Pilihan

Hidup adalah pilihan ! Kata-kata ini bosan rasanya kita dengar sepanjang hidup. Nyata sekali maknanya kerap terdengar klise. Apalagi kalau kondisi lagi mentok sana – sini. Contoh yang paling gampang saja, soal karir. Bahwa sering kali diantara kita merasa bahwa profesi yang dijalani tidak pernah disukai, tetapi demi  mempertahankan eksistensi diatas dunia, agar tetap bisa bernafas, ya…., kita telanlah bulat – bulat semua  ganjalan yang dirasa.  Itu yang besar, yang kecil -kecil juga kita alami setiap hari tanpa ampun. Pilih naik tol atau arteri, pilih jalur kiri, tangah atau kanan, pilih merk HP, pilih provider tv berbayar, sampai yang remeh-temeh, memadupadankan busana. Tapi itulah hidup, kata orang bijak. Hidup adalah memilih. Proses memilih akan berhenti ketika badan berpisah dengan jiwa. Ini artinya pengambilan keputusan – keputusan sepanjang hayat atau pilihan, sesungguhnya adalah keterpaksaan.

Karena pilihan akan selalu ada, maka langkah selanjutnya dalam menyikapi hal tersebut adalah bagaimana kemudian manusia menjadi arif dalam menentukan opsi. Ahh, disini jebakan Batman menghadang. Bagaiamana menjatuhkan pilihan dengan tepat? Bagaimana memastikan pilihan yang diambil memiliki tingkat kerugian yang paling minimal? Bagaimana pilihan (hampir) pasti memberikan nilai tambah ketimbang lebih sarat unsur mudaratnya. Hehehe…dasar manusia ya, ogah rugi. Padahal dalam ilmu ekonomi sudah dijelaskan, kalau mau untung besar, harus siap terima resiko yang besar juga (risk/return trade off).
Jadi intinya, memilih berarti harus juga siap dengan segala konsekuensinya, sebab kalau berani untung, juga harus berani rugi. so there’s no such tihing as always win. Mungkin kalau ada hoky, lantas kita mencari pembenaran dari upaya kita untuk terus tepat dalam memilih. Yah… yang namanya  “Luck” atau “Peruntung” seharusnya jangan dijadikan opsi buat kita – kita ini yang mengaku rasional. Iya kan?
Nah, penjelasan awal ini, hendak saya jadikan bantalan untuk bicara tentang runyamnya dunia pilihan itu, dan bagaimana beragamnya sikap manusia dalam menentukan pilihan. Pernah kenal nama Jessica Steinhauser? Ahhh..kalau saya sebut Asia Carrera, mungkin ada beberapa diantara anda yang kenal. Dia adalah seorang pornstar yang melejit – lejit karirnya di era 90-an. Asia bukan perempuan bodoh yang hanya mengadalkan kemolekan tubuh yang menggoda syahwat lelaki untuk kemudian mendapatkan uang melimpah. Perempuan ini ber IQ 156, relatif tinggi untuk ukuran manusia. Ia tercatat sebagai anggota Mensa, organisasi yang beranggotakan mereka – mereka ber-IQ menjulang, setidaknya 2% peringkat teratas dalam ujian kepandaian yang telah disetujui. Asia anak yang pandai, tapi karena pilihan (walau dikatakannya pilihan untuk menjadi bintang porno, setelah sebelumnya menjadi PSK dan penari bugil karena tidak tahan dengan tekanan orang tua) ia tidak dikenal sebagai seorang pundit, tetapi sebagai penglipur nafsu manusia.Tetapi kemudian ketika ia tidak memilih karir sebagai bintang porno, dia tidak menjadi Asia Carerra, yang dikenal, tersohor seantero jagat. Dia hanya akan menjadi Ms. Steinhauser, Dosen Calculus disebuah universitas entah dimana misalnya.
Pilihan akan membawa kita menjadi diri kita sekarang ini. Iya, kadang – kadang kita mengatakan, ” saya yang
sekarang menjadi, karena tidak ada pilihan!”. Wah, kalau saya lebih percaya itu sesungguhnya adalah dalih dari manusia  yang justru sebenarnya tidak berani mengambil keputusan. Terlalu khawatir dengan resiko – resiko yang akan dialami (kalau tidak mau dikatakan pengecut), yang belum tentu juga akan nyata. Mengatakan “tidak ada pilihan !” sesungguhnya menjadikan seseorang permisif terhadap keengganan diri untuk mau bergulat lebih keras dan menentang hidup, lalu mengatakan “inilah takdir!”
Bayangkan, jika seorang Soekarno tetap pada profesinya sebagai arsitek, dan mengatakan tidak mungkin berpolitik menentang kolonial, karena akan membentur tembok, masuk penjara, diasingkan dan seterusnya, kita tak akan mengenalnya sebagai presiden pertama Indonesia. Jika Ernesto Guevvara, tidak menjatuhkan pilihan hidupnya sebagai seorang revolusioner sejati, dan tetap menjadi dokter sesuai dengan disiplin ilmu yang digelutinya di kampus, maka kita tidak pernah mengenal sosok kharismatik bernama “Che”. Padahal dia bisa berkata, “aku orang Argentina, tidak ada hubungannya dengan Kuba, Bolivia, bahkan Congo. Aku bukan kadet yang diajarkan menjadi tentara yang siap berperang.” Akan masih banyak lagi jika kita mau mengurai satu persatu contoh yang menunjukkan bahwa pilihan akan selalu ada, tergantung kemudian berpulang ke diri saya kembali, apakah bersedia mengambil kesempatan atau tidak. Sekali lagi pilihan tidak pernah bisa dihindari, ia bukan  bukan opsi, tapi keharusan sebagai konsekuensi hidup manusia.