Hidup  adalah pilihan ! Kata-kata ini bosan rasanya kita dengar   sepanjang  hidup. Nyata sekali maknanya kerap terdengar klise. Apalagi   kalau  kondisi lagi mentok sana – sini. Contoh yang paling   gampang saja,  soal karir. Bahwa sering kali diantara kita merasa bahwa   profesi yang  dijalani tidak pernah disukai, tetapi demi   mempertahankan  eksistensi  diatas dunia, agar tetap bisa bernafas,  ya…., kita telanlah  bulat –  bulat semua  ganjalan yang dirasa.  Itu  yang besar, yang kecil  -kecil  juga kita alami setiap hari tanpa ampun.  Pilih naik tol atau  arteri,  pilih jalur kiri, tangah atau kanan,  pilih merk HP, pilih  provider tv  berbayar, sampai yang  remeh-temeh, memadupadankan busana.  Tapi itulah  hidup, kata orang  bijak. Hidup adalah memilih. Proses  memilih akan  berhenti ketika badan  berpisah dengan jiwa. Ini artinya  pengambilan  keputusan – keputusan  sepanjang hayat atau pilihan,  sesungguhnya adalah  keterpaksaan.
Karena pilihan akan selalu ada, maka  langkah selanjutnya dalam   menyikapi hal tersebut adalah bagaimana  kemudian manusia menjadi arif   dalam menentukan opsi. Ahh, disini jebakan  Batman menghadang. Bagaiamana   menjatuhkan pilihan dengan  tepat? Bagaimana memastikan pilihan yang   diambil memiliki tingkat  kerugian yang paling minimal? Bagaimana   pilihan (hampir) pasti  memberikan nilai tambah ketimbang lebih sarat   unsur mudaratnya.  Hehehe…dasar manusia ya, ogah rugi. Padahal   dalam ilmu ekonomi sudah  dijelaskan, kalau mau untung besar, harus  siap  terima resiko yang besar  juga (risk/return trade off).
Jadi intinya, memilih berarti harus juga siap dengan segala konsekuensinya, sebab kalau berani untung, juga harus berani rugi. so there’s no such tihing as always win. Mungkin kalau ada hoky,   lantas kita mencari pembenaran dari upaya kita untuk terus tepat dalam   memilih. Yah… yang namanya  “Luck” atau “Peruntung” seharusnya jangan   dijadikan opsi buat kita – kita ini yang mengaku rasional. Iya kan?
Nah,  penjelasan awal ini, hendak saya jadikan bantalan untuk bicara  tentang  runyamnya dunia pilihan itu, dan bagaimana beragamnya sikap  manusia  dalam menentukan pilihan. Pernah kenal nama Jessica  Steinhauser?  Ahhh..kalau saya sebut Asia Carrera, mungkin ada beberapa diantara anda yang kenal. Dia adalah seorang pornstar yang   melejit – lejit karirnya di era 90-an. Asia bukan perempuan bodoh yang   hanya mengadalkan kemolekan tubuh yang menggoda syahwat lelaki untuk   kemudian mendapatkan uang melimpah. Perempuan ini ber IQ 156, relatif   tinggi untuk ukuran manusia. Ia tercatat sebagai anggota Mensa,    organisasi yang beranggotakan mereka – mereka ber-IQ menjulang,   setidaknya 2% peringkat teratas dalam ujian kepandaian yang  telah   disetujui. Asia anak yang pandai, tapi karena pilihan (walau   dikatakannya pilihan untuk menjadi bintang porno, setelah sebelumnya   menjadi PSK dan penari bugil karena tidak tahan dengan tekanan orang   tua) ia tidak dikenal sebagai seorang pundit, tetapi sebagai   penglipur nafsu manusia.Tetapi kemudian ketika ia tidak memilih karir   sebagai bintang porno, dia tidak menjadi Asia Carerra, yang dikenal,   tersohor seantero jagat. Dia hanya akan menjadi Ms. Steinhauser, Dosen   Calculus disebuah universitas entah dimana misalnya.
Pilihan akan membawa kita menjadi diri kita sekarang ini. Iya, kadang – kadang kita mengatakan, ” saya yang
sekarang  menjadi, karena tidak ada pilihan!”. Wah, kalau saya lebih  percaya itu  sesungguhnya adalah dalih dari manusia  yang justru  sebenarnya tidak  berani mengambil keputusan. Terlalu khawatir dengan  resiko – resiko yang  akan dialami (kalau tidak mau dikatakan pengecut),  yang belum tentu  juga akan nyata. Mengatakan “tidak ada pilihan !”  sesungguhnya  menjadikan seseorang permisif terhadap keengganan diri  untuk mau  bergulat lebih keras dan menentang hidup, lalu mengatakan  “inilah  takdir!”
Bayangkan, jika seorang Soekarno tetap pada  profesinya sebagai  arsitek, dan mengatakan tidak mungkin berpolitik  menentang kolonial,  karena akan membentur tembok, masuk penjara,  diasingkan dan seterusnya,  kita tak akan mengenalnya sebagai presiden  pertama Indonesia. Jika  Ernesto Guevvara, tidak menjatuhkan pilihan  hidupnya sebagai seorang  revolusioner sejati, dan tetap menjadi dokter  sesuai dengan disiplin  ilmu yang digelutinya di kampus, maka kita tidak  pernah mengenal sosok  kharismatik bernama “Che”. Padahal dia bisa  berkata, “aku orang  Argentina, tidak ada hubungannya dengan Kuba,  Bolivia, bahkan Congo.  Aku bukan kadet yang diajarkan menjadi tentara  yang siap berperang.”  Akan masih banyak lagi jika kita mau mengurai satu  persatu contoh yang  menunjukkan bahwa pilihan akan selalu ada,  tergantung kemudian  berpulang ke diri saya kembali, apakah bersedia  mengambil kesempatan  atau tidak. Sekali lagi pilihan tidak pernah bisa  dihindari, ia bukan   bukan opsi, tapi keharusan sebagai konsekuensi  hidup manusia.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar