Minggu, 26 Juni 2011

Seandainya

Seandainya dunia bisa lebih sederhana dari apa yang kita bayangkan, ketahui dan jalani.

Seandainya lidah merasakan sama ketika mengunyah steak atau tempe.

Seandainya mata tidak mengenal warna dan bentuk, mungkin hasrat, nafsu dan syahwat tidak menggila dan membuat kita sering lupa akan hakikat.

Seandainya hidung tidak bisa menerka mana bau kapur barus dan mana aroma parfum seharga jutaan rupiah. Manusia mungkin bisa lebih rendah hati dan tak banyak pilih – pilih

Astagfirullah, mungkin saya terdengar kufur. Tapi misteri-Nya memang sulit dinalar akal yang terbatas ini.

Tapi seandainya saya punya kuasa untuk lebih bijak menangkap esensi hidup manusia, atau tidak terlalu memanjakan diri sendiri.

hidup yang dijalani mungkin akan jadi lebih sederhana..

Jumat, 13 Mei 2011

Mahalnya Sebuah Pilihan

Hidup adalah pilihan ! Kata-kata ini bosan rasanya kita dengar sepanjang hidup. Nyata sekali maknanya kerap terdengar klise. Apalagi kalau kondisi lagi mentok sana – sini. Contoh yang paling gampang saja, soal karir. Bahwa sering kali diantara kita merasa bahwa profesi yang dijalani tidak pernah disukai, tetapi demi  mempertahankan eksistensi diatas dunia, agar tetap bisa bernafas, ya…., kita telanlah bulat – bulat semua  ganjalan yang dirasa.  Itu yang besar, yang kecil -kecil juga kita alami setiap hari tanpa ampun. Pilih naik tol atau arteri, pilih jalur kiri, tangah atau kanan, pilih merk HP, pilih provider tv berbayar, sampai yang remeh-temeh, memadupadankan busana. Tapi itulah hidup, kata orang bijak. Hidup adalah memilih. Proses memilih akan berhenti ketika badan berpisah dengan jiwa. Ini artinya pengambilan keputusan – keputusan sepanjang hayat atau pilihan, sesungguhnya adalah keterpaksaan.

Karena pilihan akan selalu ada, maka langkah selanjutnya dalam menyikapi hal tersebut adalah bagaimana kemudian manusia menjadi arif dalam menentukan opsi. Ahh, disini jebakan Batman menghadang. Bagaiamana menjatuhkan pilihan dengan tepat? Bagaimana memastikan pilihan yang diambil memiliki tingkat kerugian yang paling minimal? Bagaimana pilihan (hampir) pasti memberikan nilai tambah ketimbang lebih sarat unsur mudaratnya. Hehehe…dasar manusia ya, ogah rugi. Padahal dalam ilmu ekonomi sudah dijelaskan, kalau mau untung besar, harus siap terima resiko yang besar juga (risk/return trade off).
Jadi intinya, memilih berarti harus juga siap dengan segala konsekuensinya, sebab kalau berani untung, juga harus berani rugi. so there’s no such tihing as always win. Mungkin kalau ada hoky, lantas kita mencari pembenaran dari upaya kita untuk terus tepat dalam memilih. Yah… yang namanya  “Luck” atau “Peruntung” seharusnya jangan dijadikan opsi buat kita – kita ini yang mengaku rasional. Iya kan?
Nah, penjelasan awal ini, hendak saya jadikan bantalan untuk bicara tentang runyamnya dunia pilihan itu, dan bagaimana beragamnya sikap manusia dalam menentukan pilihan. Pernah kenal nama Jessica Steinhauser? Ahhh..kalau saya sebut Asia Carrera, mungkin ada beberapa diantara anda yang kenal. Dia adalah seorang pornstar yang melejit – lejit karirnya di era 90-an. Asia bukan perempuan bodoh yang hanya mengadalkan kemolekan tubuh yang menggoda syahwat lelaki untuk kemudian mendapatkan uang melimpah. Perempuan ini ber IQ 156, relatif tinggi untuk ukuran manusia. Ia tercatat sebagai anggota Mensa, organisasi yang beranggotakan mereka – mereka ber-IQ menjulang, setidaknya 2% peringkat teratas dalam ujian kepandaian yang telah disetujui. Asia anak yang pandai, tapi karena pilihan (walau dikatakannya pilihan untuk menjadi bintang porno, setelah sebelumnya menjadi PSK dan penari bugil karena tidak tahan dengan tekanan orang tua) ia tidak dikenal sebagai seorang pundit, tetapi sebagai penglipur nafsu manusia.Tetapi kemudian ketika ia tidak memilih karir sebagai bintang porno, dia tidak menjadi Asia Carerra, yang dikenal, tersohor seantero jagat. Dia hanya akan menjadi Ms. Steinhauser, Dosen Calculus disebuah universitas entah dimana misalnya.
Pilihan akan membawa kita menjadi diri kita sekarang ini. Iya, kadang – kadang kita mengatakan, ” saya yang
sekarang menjadi, karena tidak ada pilihan!”. Wah, kalau saya lebih percaya itu sesungguhnya adalah dalih dari manusia  yang justru sebenarnya tidak berani mengambil keputusan. Terlalu khawatir dengan resiko – resiko yang akan dialami (kalau tidak mau dikatakan pengecut), yang belum tentu juga akan nyata. Mengatakan “tidak ada pilihan !” sesungguhnya menjadikan seseorang permisif terhadap keengganan diri untuk mau bergulat lebih keras dan menentang hidup, lalu mengatakan “inilah takdir!”
Bayangkan, jika seorang Soekarno tetap pada profesinya sebagai arsitek, dan mengatakan tidak mungkin berpolitik menentang kolonial, karena akan membentur tembok, masuk penjara, diasingkan dan seterusnya, kita tak akan mengenalnya sebagai presiden pertama Indonesia. Jika Ernesto Guevvara, tidak menjatuhkan pilihan hidupnya sebagai seorang revolusioner sejati, dan tetap menjadi dokter sesuai dengan disiplin ilmu yang digelutinya di kampus, maka kita tidak pernah mengenal sosok kharismatik bernama “Che”. Padahal dia bisa berkata, “aku orang Argentina, tidak ada hubungannya dengan Kuba, Bolivia, bahkan Congo. Aku bukan kadet yang diajarkan menjadi tentara yang siap berperang.” Akan masih banyak lagi jika kita mau mengurai satu persatu contoh yang menunjukkan bahwa pilihan akan selalu ada, tergantung kemudian berpulang ke diri saya kembali, apakah bersedia mengambil kesempatan atau tidak. Sekali lagi pilihan tidak pernah bisa dihindari, ia bukan  bukan opsi, tapi keharusan sebagai konsekuensi hidup manusia.

Selasa, 19 April 2011

Keagungan cangkang

Mengapa hari - hari ini, standar nilai yang saya anut menjadi begitu dangkal? Nggumunan (mudah terkesima) dengan hal - hal yang tidak terkait dengan substansi, esensi. Saya seperti melupakan filosofi dibalik semua peristiwa, objek dan realita? Mudah kagum, senang dan takjub pada yang kasat mata. Semuanya berhenti pada kepuasan penginderaan dan malas mengolahnya lagi lebih dalam hingga menyentuh dasar yang subtansial. Saya menikam rasionalitas dan intelektualitas dari belakang.

Indera, pengelihatan, pendengaran, perasa, pengecap, pembau, bukan lagi menjadi pintu yang dibaliknya terhampar singgasana pemaknaan. Ia seharusnya merupakan gerbang dari proses pengartian, yang pada ujungnya baru terdapat pintu keramat itu. Namun, hari - hari ini domain hati saya rasa keadaannya berbeda. Instan, dadak, ujug - ujug. Tambahkan lagi elemen sensasi, kegenitan harafiah atau naif, maka sempurnalah "keagungan" sebuah realitas. Semua yang nge-pop adalah "matahari". Benar - benar low context bukan?

John Storey pernah mengatakan, semua budaya populer, budaya yang mengagungkan lahiriah harafiah nan memanjakan indera dan jauh dari karsa kontemplatif, akan sirna jika seseorang atau suatu komunitas telah menemukan high culture. Ia adalah sebuah status yang memerdekakan keputusan pemaknaan atas apa yang diindera dari sekedar gambar dan teks. Jika saya bisa mencapai batas itu, mungkin saya akan memutuskan bahwa Briptu Norman serta Shinta & Jojo adalah sebuah fenomena yang berhenti pada kata menggelitik, lucu, and that's it. Tetapi kemalasan pemaknaan yang kronis membuat saya membuat mereka lebih dari sekedar gambar di youtube yang membuat terpingkal - pingkal. Disinilah kemudian proses ekspolitasi bermula.

Tulisan ini hanya saya buat untuk pengingat pribadi, untuk membuat saya lebih tekun lagi mencari makna dibalik semua peristiwa. Mengagungkan apa yang diindera tanpa memberi cukup ruang bagi pemaknaan atasnya, hanya akan berhenti pada posisi ekspresi yang dangkal dan konyol. Saya menjadi sangat mudah berkomentar atas sesuatu hal, tanpa proses yang cukup untuk memutuskan apakah komentar itu sudah tepat? Yang berbahaya, ketika saya tidak sendiri, tetapi terikat pada kesamaan intrest dengan orang - orang yang sama dangkalnya dengan saya. Jadilah kelompok kami sahut - menyahut dalam pemaknaan komunal yang ya...tetap dangkal. Sudah tepat saatnya saya lebih banyak lagi merenung. 

Kamis, 24 Maret 2011

Narsisme

” Vanity is my favorite sin !”
bahkan seorang muslim terancam tak akan berhak mendapat tiket masuk firdaus.
“Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.” (HR. Muslim)
Satu synonym rasa sombong itu bernama Narsisisme atau kosa kata populernya sekarang ini narsis. Sigmund Freud yang memperkenalkan kata ini kepada dunia psikologi modern. Freud mengatakan, tidak ada yang salah dari rasa mencintai diri sendiri. Bahkan semua orang membawa sifat ini semenjak mereka lahir. Ia bahkan menambahkan, sifat ini merupakan sumber harapan sekaligus energi yang menggerakkan insting manusia untuk bertahan hidup.
Masalahnya kemudian akan timbul, ketika konteks self-love ini terbawa oleh manusia dalam kehidupan sosial. Maka “ke-Kita-an” akan berubah menjadi “ke-Aku-an”. Saya yang terbaik, terindah, terpintar, terbenar, terhebat, ter…, ter…., ter… Ketika Aku adalah segalanya, maka logika menjadi bias, nurani jadi nisbi, dan halalnya cara adalah lelucon yang tak lagi akan pernah menjadi lucu.
Sorry, diatas saya mengutip hadist, bukan mau sok ulama, Wah…hehe itu mah jauh. Bisa shalat lima waktu lengkap saja sudah syukur buat saya, alih – alih lagi menggurui orang lain. Ini hanya referensi ekstrim. Bukankah semua jawab ada di agama ? Sedang referensi yang lebih sekuler bernama Fir’aun, Hitler, Sistem Aparthide. Mereka ini adalah sekelumit contoh – contoh empiris, bagaimana sifat narsis justru berujung tragis. Tapi toh kita tetap saja sering mengabaikan pelajaran – pelajaran hidup itu. Mungkin kita terlalu dibutakan oleh kekaguman kita melihat bayangan yang ada didepan cermin. Sama seperti Narcissius yang gandrung dengan bayangannya sendiri di permukaan telaga. Mungkin juga kita terlalu picik dalam menyerap dan menganalisis reaksi lingkungan terhadap diri sendiri. Yang sering mengkritik , kita anggap sebagai musuh, mengada – ada, dengki dll. Sementara yang paling benar adalah mereka yang memuja kita, mengagung – agungkan kita, dan membuat semacam altar pemujaan terhadap kelebihan – kelebihan, yang kita miliki atau kita “rasa” kita miliki. Kalau begini caranya, mungkin kita harus menunggu jidat terbentur dinding dahulu, atau kaki terperosok selokan, untuk membuktikan bahwa ” loe bukan dewa !”
Paman saya pernah berkata,
“Hati – hati berjalan diatas karpet merah. Dalam kondisi ini ,tetaplah perhatikan arah langkahmu, nak. Sadarkan dirimu untuk sering – sering merunduk ketika berjalan. Karena dapat saja ujung karpet itu bukan berakhir di singgasana, tapi di bibir jurang”

Sabtu, 05 Februari 2011

Di balik "marah"

Tumpukan beban tugas kuliah dan deadline kerja’an belakangan ini kerap membuat akal sehat saya lepas kontrol. Mungkin karena selalu dipakai berlari kencang, dengan tingkat akselerasi yang kelewatan membuatnya sering keluar jalur. Ujung – ujungnya saya sebentar – sebentar gampang naik darah. Sudah langka berolah raga, banyak ngemil karena tingkat stress tinggi, merokok, kurang tidur… Duh mudah – mudahan Allah memaafkan dan bermurah hati terhadap hambanya ini.
Tapi berpikir tentang amarah, orang kita punya banyak terminologi untuk menggambarkannya. Saya coba mengumpulkannya sekarang, untuk kata yang saya ingat, mulai dari yang intensitasnya rendah : misuh – misuh, ngambek, bersungut – sungut, bete, merajuk, tersinggung, kesal, sebal, geram, naik pitam, marah, ngamuk. Lumayan banyak. Konon kabarnya, kata Amok yang dipakai dalam bahasa Inggris, berasal dari turunan kata amuk yang ditemui negeri itu menjajah tanah Malaka.
            Imam Ghazali mengatakan, amarah merupakan elemen utama pembangun keinginan dalam diri hewan. Satunya lagi adalah selera makan (appetite). Sedangkan masih kata Ghazali, elemen utama pembangun keinginan manusia adalah intelektual.
Darr…! beberapa hari ini berarti saya lebih animal dari biasanya donk, karena lebih memanjakan amarah ketimbang intelektual. Akan ada bedanya tentu, kondisi saya sekarang dan sebelumnya. Terutama ketika ditanya ‘Apa Kabar’ oleh orang lain ya ?!
Kalau sebelumnya saya akan menjawab ” Biasa – biasa saja”, tapi sekarang kalau ditanya ” Apa Kabar?” mungkin jawaban yang tepat adalah “binatang – binatang saja” hehe
Jadi sebenarnya temperamental atau suka marah itu bukan manusiawi ya, tapi hewani hiihih..Semoga saya tidak lama – lama sering marah seperti sekarang ini. Kalau terlalu lama saya takut hanya bisa mengaum, bukan berkata – kata.

Minggu, 02 Januari 2011

Sebuah Kesuksesan

Apa ukuran sukses sebenarnya? Apakah bergelimangnya harta dalam genggaman? Bombastisnya angka saldo rekening? Sesaknya daftar portofolio kepemilikan saham? Akumulasi jumlah properti yang fantastis? Apakah materi yang jadi tolok ukur keberhasilan?

Atau sukses adalah ketika tiba pada puncak kejayaan dengan status yang menggentarkan manusia lain? Menggengam tampuk kekuasaan dengan status sebagai tokoh yang agung? Ketika semua orang yang bertemu menunduk hormat dan takzim mendengarkan, lalu mengamini setiap kata yang meluncur dari rongga mulutku? Sehingga ucapanku menjadi sihir buat mereka, menjadi perintah yang tak terbantahkan, menjadi sabda yang tak tertampik pengabulannya?

Mungkin juga sukses adalah ketika saya menjadi begitu populer. Punya penggemar berjibun. Banyak tak terbilang insan memuja, ingin bertemu dan mimpi bertukar sapa. Hahaha…bahkan menjadikan saya dewa pada altar suci didalam kuil tersembunyi didalam lubuk hati mereka.

Atau sukses itu, semua yang bersifat spiritual? Situasi dimana hati menjadi tenang dalam menjalankan hidup, karena yakin Yang Maha telah memberkahi saya dan saya ikhlas terhadap apa yang dikaruniakanNya?

Apa sih sukses itu?

Buat saya, sukses sesunguhnya adalah pertanda bahwa hidup manusia menjadi makin berarti. Manfaat mengurapi semestanya dan sejahtera menjadi kata yang tidak berjarak. Pertanyaannya kemudian, apakah sukses itu, status yang kasat mata atau semata berdimensi batiniah? Apakah sukses itu bersifat subyektif atau atas keabsahannya dibutuhkan syarat pengakuan khalayak. Apakah sukses menitikberatkan pada kondisi akhir atau pada proses?

Apa sih ukuran sukses itu?

Walau selalu kita menyangkal bahwa sukses tidak terukur lewat satuan – satuan materi, namun seringnya kita menganggap rangkaian ide tersebut klise. Hanya layak dikhotbahkan oleh begawan suci yang benar – benar mandul hasrat. Faktanya, ya indikator konvensional kesuksesan adalah harta, tahta dan pamor. Kalau tidak apa? Apa klaim yang paling faktual untuk menyatakan saya sukses selain apa yang dapat diindera? Kepuasan batin? “Ah…pembelan diri orang – orang yang tak mampu!” itu mungkin yang jadi ungkapan standar. Tetapi buat mereka yang sudah pada tataran esensi dan substansi, sukses adalah masalah batin. Bahwa sukses adalah apa yang saya rasakan, bukan apa yang saya kangkangi. Lalu bagaimana dengan standar umum? Kata orang – orang bijak ini, yang merasakan sukses itu saya, dan karenanya pendapat sayalah yang terpenting, bukan orang lain. Dengan begitu, sukses bukan soal kompetisi, tetapi substansi.

Sampai dimana rasa menentukan batas, seharusnya cerita soal sukses menjadi sangat – sangat individual, bukan komunal. Ah.. mana bisa maju jika ukurannya diri sendiri. Bagaimana jika kita termasuk orang yang cepat puas? Boleh jadi. Tetapi rasanya optimis lebih baik ketimbang langsung tersuruk menjadi pesimis. Mungkin kunci jawabannya adalah strong self motivated Disni yang ditekankan bukan bagaimana bersaing dengan orang lain, tetapi bersaing dengan diri sendiri terlebih dahulu. Tuntaskan pada tataran internal, ketimbang selalu melihat kekanan dan kekiri. Misalnya orang yang mengikuti lomba lari. Ia akan terus berusaha mengejar posisi terdepan, karena itu menjadi batas keberhasilan. Jika sudah didepan masalah selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan posisi itu terus-menerus. Bayangkan kalau para pelari lain memiliki kecepatan 30 km/jam, maka targetnya adalah memastikan dia bisa berlari diatas kecepatan itu. Dengan mempertahankan kecepatan 40 km/jam saja maka masalah terselesaikan. Dengan mengandalkan kompetisi eksternal, barangkali di pelari bermental juara itu tak pernah mau mencoba kecepatan 65 km/jam. Mengapa? Karena ukurannya lingkungan. Buat apa berpayah – payah, lah wong lari 40 saja sudah juara kok?!

Tetapi bayangkan jika si pelari beraing dengan dirinya sendiri. Memulai larinya dengan 25 km/jam, lalu karena sudah terbiasa maka meningkatkan kecepatannya menjadi 30 km/jam, terus dan terus dan terus. Maka batas menjadi tidak ada. Lagi-lagi itu kalau perangkat lunak sikap mental pantang menyerah dan motivasi dirinya begitu kuat. Selain menyelamatkan diri dari kehabisan energi karena penyakit hati (iri, dengki, syirik dan sejenisnya), dunia seolah tak berbatas.

Sekarang, pertanyaan selanjutnya: Apakah sukses bertitikberat kepada destinasi atau pada proses. Pertanyaan ini menjadi penting, sebab sejak kecil kita selalu diajarkan untuk memilih tujuan yang sifatnya final. Mau jadi apa? Dokter, Pilot, Polisi, Pelukis, Pemusik, Bankir atau Tentara? Dalam membangun kereangka pandang tentang sukses, tanpa kita sadari, lingkungan mendidik kita untuk berpikir instan, dan ‘memaksa’ kita menyasar satu target akhir sebagai indikator kesuksesan. Bahwa sukses adalah ketika saya menjadi anu, ini atau itu. Kita tidak pernah didik untuk berpikir sistematis, strategis dan komprehensif atas status sukses kita. Sehingga pada akhirnya, tak banyak dari kita yang bisa memenuhi cita – cita masa kecil. Karena apa? Kita tidak berorientasi kepada proses, tetapi kepada tujuan akhir. Bagaimana mungkin saya bisa termotivasi mencapai satu tujuan, jika saya tidak tahu harus memulai darimana, dengan cara apa, dan yang terpenting apa landasan filosofisnya. Ujung – ujungnya hasil akhir adalah segalanya. Ini bisa membuat saya melakukan apapun untuk mencapainya, sebab saya kehilangan rambu dan roh perjuangan. Bukankah akan lebih elok jika saya untuk menentukan segalanya one step at the time, sehingga saya benar – benar memahami sedang ada dimana saya saat ini, apa yang tengah saya kerjakan sekarang dan setelah itu akan kemana, bagaimana caranya dan apa maksudnya.

Hehehe…kok jadi seperti tulisan motivator ya? Percayalah sobat, saya tak mau menggurui. Tulisan saya yang pas-pasan di blog ini, merupakan buah dari apa yang saya pikirkan, dan menjadi pengingat pribadi. Jadi mohon jangan tersinggung, seperti saya belagu dan keminter ya. Have a nice life you all