Senin, 13 Februari 2012

Dalam Harapan

Kalau kita mencari jawaban ke dalil – dalil agama, bicara bunuh diri pasti sudah jelas jawabannya. Dosa..Masuk Neraka…
Tapi sekali lagi, mari kita bicara dengan akal sehat saja. Mengapa manusia mau melakukannya, dengan bermacam alasan, kecewa, putus asa, patah hati dan masih banyak lagi? Pdhl tidak ada jaminan si pelaku benar – benar akan kehilangan nyawa toh. Jangan – jangan hanya setengah mati saja. Malah tambah repot kan? Atau katakanlah mati total, apa yang menunggu kita dikehidupan setelah mati? Maksudnya, apa benar nyawa kita benar – benar menguap, atau jangan – jangan kita berubah jadi semut, atau cicak dan kita harus belajar lagi tentang kehidupan. Sehingga bunuh diri kemudian menjadi tidak se-simpel yang dibayangkan kan akhirnya.
Beberapa waktu yang lalu beredar di salah satu grup smartphone saya seorang polisi yang berdinas di polres Banyuwangi (polsek tanjung wangi) mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis yaitu menembakkan pelor senjatanya ke kepalanya sendiri. Ia bernama Briptu Dody.
Secara resmi memang belum ada yang menyatakkan terkait peristiwa ini dan apa motif bunuh diri yang dilakukannya ini, diduga ia mengalami stress karena masalah keluarga. Dan nahasnya lagi bunuh diri itu berjalan sukses, sehingga Dody meninggal saat itu juga.

Menurut pandangan saya, Cerita Dody hanyalah mozaik dari sebuah potret keinginan orang hidup untuk mengakhiri hidup dengan motivasi sebentuk harapan (bukan hidup). Iya…, menurut saya (yang mungkin terdengar sok tahu karena tidak pernah dan Insya Allah tidak akan pernah mencoba bunuh diri dan karenanya kemudian tahu bagaimana persaan si pelaku) mereka yang bunuh diri, masih punya harapan. Harapan untuk melepasakan diri dari segala permasalahan yang membelitnya. Harapan agar ia lebih tenang dari perasaan yang dialaminya sebelum bunuh diri.

Hitler, memutuskan bunuh diri di “Sarang Serigala” ketika sudah pasti Berlin jatuh ketangan Sekutu, juga menyimpan harapan. Harapan bahwa kejayaannya tidak akan berakhir. Harapan bahwa ia tidak pernah didudukkan sebagai pesakitan dikursi sidang para penjahat perang. Jadi para pelaku bunuh diri memberikan pelajaran untuk kita : ” Memegang Teguh Harapan”, sebuah ironi dari optimisme dalam bentuk lain.

Buat mereka, semua kabaikan akan didapat ketika mati. Maka Mati adalah Hidup untuk mereka, karena Hidup sudah menjadi Mati. Buat kita tentu tidak begitu kan ya? Hidup adalah Hidup, yang harus dijalani dengan kepala tegak. Tipis tebalnya harapan hanya ada dikepala kita, bukan dikte dunia. So we got to live when we’re still alive. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar